Saturday, September 13, 2008

BARACK OBAMA DAN MOTIVASI UNTUK PARA PEMUDA INDONESIA

(Sebuah Catatan Ringan)


".....That’s why I’m running for the President of the United States

Because there is a poor child out there and that’s my child,

Because there is a senior who’s even trouble that’s my grand pal,

and there is a guy who’s lost his job, that’s my brother,

and that’s a woman out there without healthy that’s my sister…


Those are values that build this country,

Those are values we are fighting for..


And if you are stay with me and work with me,

and knock on doors with me,

and make a phone calls with me

then I promise you;

we would not just win this election,

but we will change the world …”


(Dikutip dari pidato kampanye Barrack Obama di Wisconsin, 1 September 2008)




I

Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) ternyata telah menyedot tidak hanya perhatian warga Amerika Serikat sendiri, tapi juga telah menyedot perhatian warga dunia secara umum. Sebelum masa kampanye terbuka sekarang antara Partai Republik (dengan capres John McCain) dan Demokrat (dengan capres Barack Obama), Konvensi Internal Partai Demokrat yang menghadirkan pertarungan antara Hillary Clinton melawan Barrack Obama telah menyedot perhatian dunia. Bagaimana di Indonesia? Demam Pilpres AS ternyata sampai juga di sini. Diskusi-diskusi mengenai Pilpres AS ramai diperbincangkan dan banyak menjadi konsumsi publik.



Tulisan ini bukanlah untuk mengkomentari dan menganalisis lebih jauh peluang masing-masing capres dalam Pilpres AS. Akan tetapi, tulisan ini mencoba untuk memberikan catatan sisi lain pilpres di Amerika Serikat. Bahwa pertarungan antara Barack Obama dan John McCain, bukan sekedar pertarungan antara kaum Demokrat dan Republik Lebih jauh dari itu, ini adalah pertarungan antar generasi. 2 Barack Obama adalah politisi muda yang baru berusia 47 tahun, usia yang tergolong relatif muda untuk seorang calon presiden. Sedangkan John McCain adalah veteran Perang Vietnam yang telah genap berusia 63 tahun. Maka tulisan ini akan mencoba mengangkat fenomena itu. Bahwa usia yang muda ternyata bukanlah merupakan halangan bagi seseorang untuk maju dan berkirpah di pentas politik, dan Obama menjadi fenomena yang mewakili semangat anak muda di seluruh dunia. Pada titik ini, pertanyannya kemudian; di Indonesia, apa yang bisa kita ambil dari “fenomena Obama”?

II


Salah satu yang dibutuhkan seseorang untuk tampil menjadi tokoh besar adalah momentum yang tepat. Dan Obama hadir di ruang dan waktu yang sangat mendukung. Beberapa alasan diantaranya; Pertama Obama adalah cermin politisi yang memperjuangkan kesamaan derajat. Dalam setiap kampanye, Obama juga sering menyerukan jargon “Satu Amerika” sebagai reaksi atas "kultur rasisme" yang belum sepenuhnya hilang dari bumi Paman Sam3. Latar belakang Obama yang multiras dan multikultural, juga menjadi poin tersendiri. Sosok Obama dianggap representasi warga AS yang beragam: kulit putih, Afrika-Amerika, Hispanics, Asia, serta Arab dan Timur Tengah4.


Kedua, dan ini penting, bahwa masyarakat Amerika membutuhkan generasi baru yang bebas dari dosa masa lalu. Generasi George Walker Bush telah membawa Amerika kepada konflik dengan dunia luar dan melupakan urusan domestik. Generasi yang diharapkan tidak hanya menyerukan perubahan, tapi mampu meyakinkan publik bahwa dirinya bersih dari segala kesalahan masa lalu dan siap menyongsong perubahan. Obama mewakili itu. Sebagai seorang senator muda, ia relatif bersih dari kesalahan. Dan yang terpenting, di usia muda ia telah mampu menembus persaingan di antara tokoh-tokoh senior Partai Demokrat. Persaingannya dengan Hillary Clinton dalam konvensi internal membuktikan angin perubahan Obama ternyata didukung oleh kalangan muda Partai Demokrat dengan seruan “regenerasi kepemimpinan”5. Hasil konvensi yang menempatkan dirinya sebagai perwakilan resmi dari Partai Demokrat telah mendobrak mitos senioritas di tubuh partai tersebut, dan Obama sukses membuktikan itu semua.



III



Sejarah mencatat, founding father Indonesia lahir dari rahim pergerakan pemuda. Awalnya, mereka adalah anak-anak muda yang gelisah dengan kondisi zamannya. Soekarno mulai aktif dalam Partai Nasional Indonesia di usia 21 tahun, usia yang masih sangat muda. Pun begitu dengan M. Natsir yang telah mulai banyak menulis dan aktif dalam gerakan politik sejak usia 20 tahun6. Peran pemuda Indonesia, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, tidak terbantahkan lagi. Jejak sejarah kaum muda pascakemerdekaan dapat kita lihat misalnya ketika Sudirman menjadi jenderal pertama dan sekaligus panglima di republik ini dalam usia masih sangat muda.


Bergulirnya reformasi telah mengubah banyak hal dalam kehidupan. Era Orde Baru yang menutup rapat keran regenerasi telah lama dirubuhkan. Perubahan itu hendaknya mendorong kaum muda untuk dinamis dan cerdas membaca realitas zaman. Salah satunya adalah mereposisi peran kaum muda. Dengan berkaca dari perubahan politik di Amerika Serikat, seharusnya pemuda Indonesia termotivasi untuk melakukan mobilitas vertikal mengisi pos-pos strategis perubahan. Sudah saatnya pemuda tidak hanya berhenti menjadi saksi perebutan kursi yang dilakukan kaum tua. Bukan lagi waktunya kaum muda hanya bertindak sebagai operator dari generasi yang terbukti gagal, kemudian berusaha merebut kekuasaan kembali. Tetapi, harus mampu melahirkan generasi kepemimpinan baru yang lebih mampu memberi harapan dan perubahan.



IV

Tulisan ini kiranya belum mampu menyimpulkan apapun. Namun, tulisan ini mencoba untuk menawarkan gagasan baru untuk para pemuda Indonesia dengan belajar dan berkaca dari proses politik di Amerika Serikat, diantaranya; Pertama, saat ini adalah momentum yang tepat bagi para pemuda untuk tampil dalam pos-pos strategis dalam perubahan bangsa. Tugas pemuda Indonesia bukanlah menunggu momentum yang tepat, akan tetapi tugas kita adalah merebut momentum tersebut dengan tampil sebagai kaum terpelajar yang membawa ide segar perubahan yang bebas dari dosa-dosa masa lalu. Kiranya Barack Obama cukup menjadi inspirasi untuk kita semua.



Kedua, sekarang adalah saatnya bagi para generasi tua untuk tidak lagi berpikit kolot dan serakah. Saatnya orang-orang tua yang ada di posisi strategis membuka jalan bagi anak-anak muda yang siap tampil ke muka. Harus ada percepatan regenerasi kepemimpinan di Indonesia. Jangan sampai panggung politik dan elit bangsa diisi oleh orang-orang lama yang telah berlumur dosa masa lalu. Apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh senior Partai Demokrat dengan membuka jalan bagi Barack Obama untuk tampil menjadi Capres dengan melihat dukungan dari konstituen, kiranya cukup menjadi pelajaran bagi kita.



Perubahan global yang menampilkan pemimpin-pemimpin dari generasi baru seperti Ahmadinejad di Iran, Hugo Chavez di Venezuela dan yang terbaru “fenomena Obama” di Amerika Serikat mudah-mudahan mampu memotivasi kita para pemuda Indonesia untuk terus berbenah menyongsong zaman baru untuk generasi baru. Percaya atau tidak, semuanya kembali kepada kita apakah kita cukup mampu dan berani untuk merebut momentum saat ini. Anda percaya?? Seperti kata Obama; Change We Can Believe In..


........kita generasi muda ditugaskan untuk membersihkan semua sisa sejarah yang salah.........”

(Soe Hok Gie)



...Dedicated for someone who’s also loves Obama.. I Believe time will prove it...”





1 Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsoed SKS 2004. mantan Presiden BEM FISIP periode 2006-2007. Sekarang aktif di Keluarga Besar Mahasiswa Unsoed (KBMU) dibarengi dengan persiapan tugas akhir dan skripsi.

2 Harian Kompas, Jum’at 12 September 2008

3 Untuk lebih jelas akan hal ini silahkan baca buku Diana L Eck. Amerika Baru Yang Religius, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005

4 www.fajar.co.id/index.php?act=news&id=51816, diakses tanggal 12 September 2008

5 www.suaramerdeka.com/harian/0702/19/opi03.htm diakses tanggal 11 September 2008

6 Deliar Noer, Memperbincangkan Tokoh-tokoh Bangsa, dalam Natsir : Suatu Kenangan Tersendiri. Pustaka Mizan, 2001

Tuesday, September 9, 2008

RAMADHAN DAN LAHIRNYA ERA KEPEMIMPINAN MORAL

.....Demokrasi bisa tertindas sementara

karena kesalahannya sendiri, tetapi

setelah ia mengalami cobaan yang pahit,

ia akan muncul kembali dengan keinsafannya...”

(Muhammad Hatta dalam Demokrasi Kita)


Indonesia akhir-akhir ini secara fisik dan metafisik benar-benar tercabik. Lahir dan batinnya merana juga gundah. Harapan kesejahteraan rakyat yang berkumandang seiring cita-cita Indonesia merdeka, kini seakan tinggal kenangan. Kumandang dan gebyar kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus yang lalu berasa hambar dan seakan hanya menjadi penegas kesengsaraan bangsa ini.Ada apa dengan kita? sebenarnya, bukan karena ketiadaan niat baik, atau semacam political will dari para pemegang kebijakan, juga bukan karena ketiadaan program aksi yang konnkrit dan riil, terutama bagi rakyat yang selalu menjadi pelanduk yang selalu mati di tengah-tengah. Kita tidak meragukan itu semua yang berupaya untuk memberikan obat yang mujarab bagi rakyat yang sedang sakit-sakitan. Akar masalahnya terletak pada tidak adanya pemerataan plus kesombongan, kepongahan. Kita tidak pernah kekurangan konsep dan program aksi. Hanya saja konsep dan program aksi yang disusun selalu penuh dengan syahwat keserakahan, syahwat kekuasaan yang membawa dampak eksploitasi besar-besaran terhadap rakyat dan hak-hak mereka. Titik jenuhnya adalah pada kerapuhan konstruksi bangun Indonesia yang kemudian menghantarkan pada krisis yang sedemikian berkepanjangan hingga saat ini.


Ada kecenderungan sikap batin rakyat hampir seragam sebagai kesan negatif terhadap kondisi yang semakin tidak menentu. Kecenderungan sikap batin tersebut berkenaan dengan perasaan trauma dan juga kekhawatiran akan kondisi yang tidak beranjak menuju titik perbaikannya. Kita –rakyat Indonesia- dipaksa untuk menerima dan mentolerir segala penyelewengan yang dilakukan baik secara individu maupun berjamaah oleh para pemimpin alias elit politik kita. Ketulian dan kebutaan kita terhadap kebobrokan sistem yang dibentuk oleh penyimpangan secara individu mereka yang ada di dalamnya, seakan melegitimasi semuanya; korupsi yang semakin menggila, pejabat publik yang semakin jauh dari rakyatnya, kebutuhan dasar rakyat yang selalu dijadikan komoditi, hingga tertutupnya akses publik terhadap hak-hak dasar mereka(kesehatan, pendidikan, dll). Maka mari bertanya untuk apa sebenarnya negeri ini ada? Untuk siapa negeri ini memproklamirkan kemerdekaannya? Dimana kemanfaatan Demokrasi Pancasila yang kita anut?


............


Salah satu pra syarat menggawangi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia adalah menghadirkan pemimpin yang merakyat dengan basis integritas moral yang tinggi. Konsolidasi demokrasi di Indonesia, sebagaimana terlihat dari berbagai aspek penyelenggaraan negara yang nyatanya belum responsif terhadap upaya pembentukan good governance dan clean goverment, bukan lagi sekedar berada dalam bahaya re-Orbaisme, melainkan, lebih dari itu, berada dalam bahaya ketidakmmampuan (uncertainty) sosial, ekonomi, dan politik1. Penyebab ketidakmenentuan sosial, ekonomi, dan politik itu adalah akibat “ketidakhadiran” pemimpin yang merakyat dalam batin masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, tepat rasanya apa yang dikatakan Muhammad Natsir; “ketika pemimpin bangsa ini berada dalam pilihan antara melaksanakan amanat rakyat atau menyelewengkan, maka pilihannya jatuh pada pada penyelewengan amanat rakyat”2.


Inilah kiranya masalah yang kita hadapi. Dalam kondisi serba tidak menentu, ternyata bangsa ini dipimpin oleh para pemimpin yang tidak mempunyai kejelasan visi tentang penyelenggaraan negara. Pemimpin-pemimpin yang tidak saling bersinergi untuk menyelenggarakan visi program yang telah dirancang oleh amanat rakyat. Dan juga pemimpin yang tidak mempunyai orientasi kepemimpinan mengenai demokrasi politik (transparansi, tanpa represi, akuntabilitas, perimbangan kekuasaan, dll). Energi mereka lebih banyak dihabiskan untuk mengurusi persoalan pribadi dan kelompoknya ketimbang urusan bangsa dus komitmen yang mulai pudar terhadap usaha untuk menyelematkan bangsa ini dari kubangan krisis yang makin menganga. Dengan runutan tadi, jelas juga wajar kiranya kalau kemudian yang terjadi adalah visi yang tidak berpihak kepada rakyat, program aksi yang tak lebih dari sekedar formalitas dilakukan, serta hahncurnya tata-moral bangsa ini dari semua sisi. Salah satu konsekuensi dari pola kepemimpinan demikian adalah bahwa kekuasaan menjadi tak terkontrol. Padahal kekuasaan yang tak terkontrol cenderung menimbulkan berbagai bentuk penyelewengan.


Selain itu, masyarakat menjadi lemah, dan demokrasi yang diperjuangkan menjadi ala kadarnya. Oleh karena itu, jika pemilu dipandang masih bisa memberi harapan, salah satu tolok ukurnya adalah mampu tidaknya pemilu tersebut memotong gaya kepemimpinan orang kuat itu untuk selanjutnya memberdayakan masyarakat secara politis, sosial dan ekonomi, sehingga menjadi masyarakat yang kuat. Secara tidak langsung masyarakat tentu saja berperan besar dalam memilih karakter kepemimpinan, karena akan sangat berhubungan langsung dengan hajat hidup masyarakat. Oleh karena itu mdel kepemimpinan demikian harus segera diganti. Harus segera didekonstruksi. Saatnya kepemimpinan moral menggantikan semuanya. Kepemimpinan moral berkiprah secara independen dan melakukan semuanya dengan visi besar yaitu pengabdian kepada rakyat. Pengabdian kepada mereka kaum tertindas dan terpinggirkan. Kepemimpinan moral adalah model kepemimpinan yang desain gerakannya merupakan manifestasi dari integritas moral, leadership, transparan, akuntabel, dan tidak segan untuk langsung bersentuhan dengan problema-problema mendasar yang ada pada rakyat. Dengan demikian, diharapkan akan segera lewatlah zaman di mana masyarakat yang secara politik lemah (politically powerless) hanya menyandarkan diri pada orang-orang kuat yang secara politik kuat (politically powerful). Di dalam masyarakat yang transparan dan disertai kontrol yang ketat atas kekuasaan itu diharapkan bahwa yang akan lahir dan tumbuh nanti bukan lagi "orang-orang kuat" yang mahir menekan rakyat, melainkan "masyarakat kuat" yang mampu memperjuangkan kepentingan anggota-anggotanya secara adil dan demokratis.


..........

Ramadhan tahun ini akan segera menyapa kita. Akan segera mengajak kita untuk berfleksi atas apa yang telah kita lakukan, atas sejauh mana komitmen kita untuk dapat merubah diri sendiri, juga sejauh apa yang sudah kita lakukan untuk perbaikan masyarakat. Namun, Ramadhan tahun ini terasa lebih spesial di Banyumas. Ramadhan tahun ini seakan menjadi sedemikian penting mengingat tak lama setelahnya, kita akan menghadapi agenda besar yang pertama kali di Kabupaten Banyumas; Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati secara langsung. Sebuah proses –meminjam istilah Ahmad Thohari- penyerahan mandat rakyat kepada pemimpinnya. Sebuah proses seleksi kepada orang-orang terbaik yang akan diberi amanah maha berat untuk memimpin masyarakat keluar dari krisis berkepanjangan. Hajat besar ini tentu saja menjadi sedemikian strategis untuk mereka yang hari ini bercita melakukan perubahan. Tentu saja kita berharap Pilkada bukan sekedar melahirkan pemimpin yang lagi-lagi Polytical powerfull dan kemudian menciptakan masyararakat yang Pollytical powerless.


Mari sekedar mengamati dan melihat kenyataan proses Pilkada langsung yang sudah dijalankan di Indonesia. Dari sekian banyak proses tersebut banyak yang kemudian melahirkan pemimpin yang ternyata tidak jauh lebih baik, bahkan bisa jadi lebih buruk. Bahkan Bupati pertama hasil Pilkada langsung, yaitu H.R Syaukani, Bupati Kutai Kartanegara, hari ini harus mendekam di penjara dikarenakan tersangkut kasus korupsi. Tidak sedikit dari mereka yang sekarang mengikuti jejak Bupati Kutai tersebut dikarenakan kasus yang kurang lebih sama dengan judul; penyelewengan kekuasaan. Terbaru yang mungkin hadir di depan kita adalah kasus yang menimpa Bupati Garut, juga hasil dari Pilkada langsung yang tentu saja menelan biaya yang tidak sedikit.


Maka mari strategiskan Ramadhan kali ini. Sudah cukup rasanya semua penyelewengan hadir dan menyapa tanpa kita bisa berbuat apa-apa untuk merubahnya. Maka momentum Ramadhan tahun ini rasanya tepat kalau kemudian dijadikan semangat bersama untuk melakukan perubahan besar di Banyumas ini. Tentu saja Ramadhan ini harus menjadi bulann penegasan kita bahwa sudah saatnya lahir era kepemimpinan moral. Era kepemimpinan yang mendambakan terciptanya pemerintahan yang bersih dan dekat dengan rakyatnya. Saatnya kita mengawal semua proses regulasi kepemimpinan dijalankan dengan semua prosedur yang ada dengan meminimalisir, bahkan menghilangkan semua penyelewengan yang ada. Hendaknya selain menjadi bulan untuk menjadi Refleksi kita semua, maka Ramadhan tahun ini bisa juga menjadi sarana aksi kita untuk masyarakat, mulai menyadarkan masyarakat sekitar akan pentingnya memilih pemimpin yang benar-benar mempunyai integritas moral yang tinggi, juga kapabilitas kepemimpinan yang mumpuni. Insya Allah..


Barangsiapa berniat Hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka nilai hijrah itu berdimensi illahiyah dan rasuliyah. Barangsiapa berniat hijrah karena ingin memperoleh dunia dan karena perempuan yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrah hanya menjadi sesuatu yang menjadi tujuannya itu”.

(HR Bukhari Muslim)






1 Piet H. Khaidir, Nalar Kemanusiaan, Nalar Perubahan Sosial, Penerbit Teraju, 2006.

2 Deliar Noer, Memperbincangkan Tokoh-tokoh Bangsa, dalam Natsir : Suatu Kenangan Tersendiri. Pustaka Mizan, 2001

MAHASISWA DAN PERANAN POLITIKNYA : BELAJAR DARI COSMAS BATUBARA

Khairurrizqo


.....Melaksanakan kedaulatan rakyat dalam praktik,

menghendaki keinsafan, pengertian, dan tanggung jawab

rakyat tentang itu. Itu memerlukan didikan dan asuhan.

Ya, sebuah abad besar telah lahir. Namun, ia menemukan

generasi yang kerdil...”

(Bung Hatta, dalam tulisannya “Mimpi dan Kenyataan”)


I

Kontribusi mahasiswa di pentas perjuangan bangsa pada setiap lintasan sejarah hampir selalu menorehkan tinta emas. Peran mahasiswa –melepaskan republik ini dari cengkraman penjajah asing 1945, menumbangkan rezim Soekarno 1966, serta menjatuhnya kepercayaan masyarakat terhadap rezim Soeharto- telah menjadi saksi dan fakta sejarah bahwa mahasiswa negeri ini senantiasa konsisten dalam melakukan perubahan. Rekaman sejarah gerakan mahasiswa dengan warna heroiknya menjadi cermin ketulusan mereka yang senantiasa berpijak pada kerangka moral, bukan kerangka-kerangka lain yang bernuansakan kepentingan sesaat. Pada setiap kemasan sejarah reformasi bangsa, sekali lagi keterlibatan dan peran mahasiswa sebagai aktor yang paling mobile dan dominan sampai hari ini pun masih menjadi sesuatu yang tak terbantahkan. Lahirnya angkatan 66, 74, 78, hingga 98 merekam dengan tegas kiprah kaum muda dalam mengusung agenda-agenda perubahan yang nyata di tengah masyarakat.


Di dalam perjuangan aksi mahasiswa, akan selalu ada pengertian perjuangan moral ataukah perjuangan politik praktis. Dalam kasus aksi mahasiswa 1966 misalnya, pada awalnya mahasiswa berdemo karena pertimbangan moral. Perndekatan pertimbangan moral sangatlah tegas : logika hitam-putih, logika baik dan buruk. Tidak ada wilayah abu-abu. Keadaan ekonomi yang morat-marit, memaksa mahasiswa menyuarakan tuntutannya ke jalan. Selain itu public enemy –dalam hal ini PKI- ternyata belum juga dibubarkan pasca gagalnya kudeta. Hanya saja memang perjuangan moral tampaknya –dan memang terbukti- sulit untuk segera memperoleh hasil. Oleh karena itu biasanya perjuangan moral lalu berkembang menajam ke perjuangan politik praktis yang tidak hanya berlingkup mahasiswa. Perjuangan politik praktis sangat berbeda dengan perjuangan moral semata. Perjuangan politik kadang mempuyai pertimbangan yang sekilas tidak masuk akal, misalnya melakukan kompromi. Dalam pilihan ini, kadang sikap kompromistis dicap sebagai sebuah pengkhianatan perjuangan. Di sisi inilah sebenarnya seorang mahasiswa menentukan pilihan arah perjuangan, pilhan masa depan yang akan diraih.


Dalam kaitan ini, sesungguhnya menarik mengutip pendapat dari Arbi Sanit. Menurutnya; “Secara universal politik moral dengan politik praktis tidak dapat dibedakan. Karena tak ada politik yang sepenuhnya tanpa moral dan nyataya semua politik adalah praktis karena berkaitan dengan interaksi kekuasaan. Sebagai praktik kekuasaan, interaksi politik terdiri dari sikap politik dan perbuatan atau tingkah laku politik”3. Pada perspektif ini, Arbi Sanit melihat kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan tingkah laku pihak lain, merupakan alat dalam interaksi politik, laiknya uang dalam interaksi ekonomi. Besarnya kekuasaan pelaku politik ditentukan oleh keberhasilannya menghimpun dan memanfaatkan sumber daya kekuasaan yang terdiri dari kekayaan, pengetahuan, kekuatan fisik, dan kekuatan nilai (kebenaran).


II

Membaca buku Cosmas Batubara : Sebuah Otobiografi Politik, sungguh membawa alam pikiran kita pada seorang aktivis mahasiswa yang politikus, politikus yang aktivis. Kita seperti digambarkan juga diajarkan bahwa perjuangan menuju nilai-nilai keadilan tentunya tidak bisa tidak, harus beririsan dengan usaha-usaha politik. Era 1966, gerakan mahasiswa berhadapan dengan Demokrasi Terpimpin (guided democracy) yang diterapkan oleh Presiden Soekarno yang kemudian “berjasa” dalam meluluhlantakkan tatanan demokrasi dan martabat manusia Indonesia. Perang ideologi pun tidak terhindarkan walapun –sebelum Gestapu- masih bersifat smooth war. Perpaduan Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) yang dicita-citakan Soekarno, ternyata lebih mendekatkan ketiga konsepsi itu dalam potensi konflik daripada potensi persatuan. Di tengah-tengah perang idelolgi yang memuncak –seperti biasa- rakyatlah yang paling dirugikan. Kondisi ekonomi memburuk, jatuh di titik terendah. Digambarkan oleh Benny Susetyo sebagai, “sebuah masa dimana kelaparan dan kemiskinan adalah tontonan utama, di tengah kuatnya PKI menghadapi ABRI, di tengah semakin garangnya teriakan anti Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme), sesungguhnya rakyat hanya menjadi penonton yang lapar dan haus”4.

Dalam keadaan seperti itulah angkatan 66 mengambil inisiatif, menyebabkan kepedulian, menjadi garda terdepan (avant garde) dalam menyuarakan penderitaan rakyat. Dan lahirlah perubahan itu. Soekarno tumbang disertai dengan dibubarkannya PKI, dan yang lebih penting, angkatan 66 melahirkan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Maka lahirlah politisi-politisi baru Indonesia, politisi-politisi yang di awal 1966 adalah para pemimpin aksi-aksi massa kala itu. Tersebutlah nama Fahmi Idris, Mar’ie Muhammad, Bapak Cosmas Batubara sendiri, hingga Eky Syachrudin. Walaupun kemunculan mereka tidak lepas dari kritik rekan-rekan mereka sendiri, seperti Soe Hok Gie misalnya. Namun Otobiografi ini seakan ingin menegaskan satu hal bahwa perjuangan moral tidaklah cukup. Mahasiswa, tidak hanya kemudian menjadi agen-agen perubahan saja. Dengan masih atau sudah menjadi “mantan”, ketika perubahan yang dicita-citakan lahir yang otomatis membuka ruang-ruang publik, ruang-ruang pengambilan kebijakan, maka sesungguhnya mereka para penggerak perubahan di zamannya bertanggung jawab untuk mengisi pos-pos tersebut, menjadikan jabatan strategis tersebut sebagai sarana untuk mengambil kebijakan yang pro poor, seperti yang mereka teriakkan dalam aksi-aksi jalanan sebelumnya.

Namun peran dan posisi mahasiswa (dan mantan mahasiswa) yang demikian ternyata tidak lepas dari pro dan kontra. Dari mereka yang kontra, yang menarik adalah analogi yang disampaikan Arief Budiman. Menurutnya peran mahasiswa diandaikan seperti peran-peran pahlawan di film-film koboi Hollywood tempo dulu. Khususnya, ia membayangkan film “Shane”. Film Hollywood di era 1950-an. Dalam film itu si pahlawan yang bernama Shane datang sebagai orang yang tidak dikenal ke sebuah kota kecil yang sedang dirongrong oleh kawanan penjahat. Pahlawan pendiam tetapi kokoh pendirian ini kemudian membersihkan kota tersebut dari para penjahat. Namun, ia segera pergi tanpa sempat dibalas sedikit pun jasanya oleh warga yang ia tolong. Ketika para warga menawarkan jabatan sherif untuknya, ia pun menolak. Menurut Arief Budiman, film diakhiri dengan adegan Shane naik kuda meninggalkan kota. Sementara seorang bocah memanggil-manggil namanya untuk kembali5. Gambaran yang sedemikian romantis, namun mengena. Terkait pamrih namun juga bagaimana perubahan harus diiisi oleh orang-orang terpilih.


III

Lalu dari mana mahasiswa saat ini harus mengambil juga meneladani warisan sejarah para seniornya? Angkatan 66 memang meluluhlantakkann Orde Lama, namun ia mencipta dan mendukung sebuah rezim baru yang tidak lebih baik dari Orde sebelumnya. Orde Baru terbukti juga membawa bangsa ini dalam kemelaratan, sehingga masyarakat dan mahasiswa pun menggulingkannya, menggantinya dengan Orde Reformasi. Lahirlah kemudian yang dikenal dengan mahasiswa angkatan 98. Dari mereka tersebutlah nama-nama seperti Budiman Sudjatmiko, Andi Arief, Rama Pratama, Anas Urbaningrum, dan masih banyak lagi. Banyak dari mereka yang saat ini mengisi posisi-posisi penting, baik di legislatif, eksekutif, atau bahkan partai politik. Dengan karakter khas yang mereka miliki, sesungguhnya tidak jauh berbeda apa yang mereka lakukan dengan bapak-bapak kita di angkatan 66. Pertanyaannya kemudian, lebih baikkah kondisi kita sekarang?

Membaca sekali lagi Otobiografi Cosmas Batubara, membawa kita pada sebuah kenyataan siklus sejarah Indonesia. Bahwa tanggung jawab mahasiswa Indonesia tidak sekedar dan selesai dalam memperjuangkan dan mencipta perubahan, lebih dari itu mahasiswa mempunyai tanggung jawab moral untuk ikut serta membangun sebuah orde, sebuah zaman yang lebih baik. Seperti halnya Bapak Cosmas Batubara yang ikut berkontribusi dalam pemerintahan Orde Baru dengan kebijakan Perumnasnya yang terkenal dan tokoh-tokoh eksponen 66 lainnya yang juga bagian dari Orba itu sendiri. Kita diajarkan untuk menerima kenyataan bahwa untuk itulah mahasiswa ada, untuk disiapkan menjadi stok-stok baru yang akan mengisi setiap zaman juga tantangan yang akan dilalui bangsa ini. Tidak hanya sebagai Agent of Change, namun juga menjadi Director of Change. Sekali lagi, menarik apa yang dikatakan oleh Arbi Sanit bahwa “Secara universal politik moral dengan politik praktis tidak dapat dibedakan. Karena tak ada politik yang sepenuhnya tanpa moral dan nyataya semua politik adalah praktis karena berkaitan dengan interaksi kekuasaan”. Selamat memilih dan terus bergerak tuntaskan perubahan!!!!


.....Kini mereka telah mengkhianati perjuangannya sendiri, kita generasi muda ditugaskan untuk membersihkan semua sisa sejarah yang salah..” (Soe Hok Gie)




1 Disampaikan dalam acara Bedah Buku “Cosmas Batubara : Sebuah Otobiografi Politik” kerjasama Forum Mahasiswa Ilmu Politik (FMIP) dan Lab Ilmu Politik Unsoed. Rabu, 29 Agustus 2007 . Dengan Pembicara Cosmas Batubara (penulis buku), Ahmad Sabiq S.IP M.A dan penulis sendiri sebagai pembanding

2 Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsoed . Saat ini menjabat sebagai Presiden BEM FISIP Unsoed periode 2006/2007. Koordinator acara Academic Forum, sebuah forum diskusi BEM se-Purwokerto di Radio Republik Indonesia (RRI) Pro 2 FM.

3 Tulisan Arbi Sanit, Gerakan Mahasiswa 1998 : Moral atau Praktis? dalam buku Mahasiswa Menggugat : Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Fahrus Zaman Fadhly (Ed), Pustaka Hidayah, Bandung, 1999.

4 Beny Susetyo, Hancurnya Etika Politik. Penerbit Kompas, Jakarta, 2004.

4

5 Dikutip dari tulisan Vedi R. Hadiz, Gerakan Mahasiswa dan Film Koboi Hollywood. dalam buku Mahasiswa Menggugat : Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Fahrus Zaman Fadhly (Ed), Pustaka Hidayah, Bandung, 1999.

PILKADA BANYUMAS, DEMOKRASI DAN RASIONALITAS MASYARAKAT (SEBUAH CATATAN RINGAN)

Khairurrizqo


A political issue is not a merely a product to

be merchandised but rather a vibrant value

symbol connecting with an individual sense

of who and what he or she in the deepest level”

(Nicholas O’Shaughnessy, 1999)


Ada demokrasi di tanggal 10 Februari 2008. Ada harapan besar di masyarakat Banyumas untuk dapat memperbaiki nasib juga hajat hidupnya. Inilah untuk pertama kalinya masyarakat Banyumas memilih secara langsung Calon Bupati. Hasilnya, Tidak tanggung-tanggung, lebih dari 75 % masyarakat yang mempunyai hak pilih,menggunakan hak pilih mereka. Sebuah angka yang –secara kuantitatif- menunjukkan besarnya ekspektasi masyarakat terhadap pemimpin mereka, juga terhadap perubahan yang didambakan. Walaupun angka ini kemudian tidak dapat digunakan untuk mengukur kualitas pilihan masyarakat terhadap calon mereka, Namun secara umum, partisipasi masyarakat dalam Pilkada ini semakin menunjukkan bahwa ada pergeseran yang cukup signifikan dalam struktur sosial-politik masyarakat Banyumas.


Dan hasilnya? Sejauh ini, dari hasil Quick Count yang dipublikasikan oleh KPUD Banyumas (Radar Banyumas, 13 Februari 2008), Pasangan Mardjoko-Husein (MJK) memperoleh 36, 28 % suara, Pasangan Singgih Wiranto-Laily Mansur (SW) memperoleh 23,81% suara, pasangan Bambang Priono-Tossy Aryanto memperoleh (BP) 29,00% suara, dan terakhir pasangan Aris Wahyudi-Asroru Maula memperoleh 10,29% suara. Adalah sangat bijak untuk menunggu rekapitulasi total yang dikeluarkan oleh KPUD Banyumas berdasarkan hasil suara yang masuk di semua TPS. Namun berdasarkan kenyataan yang ada selama ini, hasil Quick Count memang selalu identik dengan hasil akhir yang dikeluarkan. Artinya Pasangan Calon (Paslon) Mardjoko-Husein yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ternyata dipilih oleh mayoritas masyarakat Banyumas dalam Pilkada kali ini.


Tulisan ini bukanlah untuk menganalisis dan mengomentari lebih valid atau tidaknya hasil perhitungan yang sudah ada. Tulisan ini hanya akan memberikan catatan sederhana mengenai Pilkada Banyumas yang ternyata mampu menggambarkan fenomena politik yang tidak biasa. Dalam hal ini penulis menggunakan dua frame yang digunakan dalam analisis sederhana ini, pertama adalah bahwa apakah pesta demokrasi di Banyumas ini benar-benar mampu menggambarkan esensi demokrasi secara substansial, ataukah lagi-lagi hanya membuktikan kemenangan kelompok dominan dan berkuasa. Kedua, sejauh mana Pilkada Banyumas mampu membuktikan pergeseran pola pikir masyarakat, apakah masyarakat Banyumas masih terjebak pada pola-pola pikir tradisional yang terjebak pada pilihan emosional semata, ataukah sudah bergereser menuju pilihan yang lebih rasional dengan mampu memilih berdasarkan Basic Needs mereka. Hal ini akan berkaitan dengan pilihan isu yang diangkat oleh masing-masing Calon Bupati dalam komunikasi politik mereka kepada masyarakat.

..........

Pengertian Demokrasi bukanlah pengertian yang sederhana, akan tetapi ia mempunyai pengertian yang kompleks dan tidak manunggal. Sejauh ini –sepengetahuan penulis- tidak ada definisi demokrasi yang menjadi pengertian yang diterima sebagai konsensus bersama. Secara sederhana, seperti yang sering dikutip, demokrasi dimaknai dalam kata-kata “from the people, by the people and for the people. Mungkin demokrasi seperti yang termanifestasikan dalam Pilkada Langsung di Indonesia mampu untuk memanifestasikan pengertian di atas, khususnya dalam definisi from the people and by the people. Hanya saja kemudian apakah Pilkada langsung hari ini mampu mememuhi kebutuhan publik atau dengan kata lain, sudahkah ia memanifestasikan unsur for the people?


Selalu ada esensi demokrasi yang dinanti oleh masyarakat. Kiranya pertanyaan mendasarnya adalah, apakah dengan berdemokrasi maka segala sesuatunya akan lebih baik? mampukah demokrasi menjawab persoalan mendasar masyarakat terutama kebutuhan ekonomi mereka? Mampukah ia menghilangkan atau sekedar meminimalisir gap antara si miskin dan si kaya? Ataukah ia hanya sekedar pertunjukan yang menampilkan kompetisi para elit politik yang secara emosional mampu mengikat masyarakat dengan ekspektasi yang muluk. Belum ada jawaban yang mampu menjawab sekian banyak keraguan akan demokrasi itu sendiri. Yang muncul justru perdebatan selanjutnya, apakah ekspektasi masyarakat dapat cukup terpenuhi dengan hanya menyaksikan kompetisi demokrasi yang fair atau memang masyarakat menuntut lebih? Bahwa kesejahteraan dan kemakmuran yang ditandai dengan terpenuhinya basic needs lebih penting daripada sekedar Pilkada yang jujur dan fair?


Disinilah demokrasi bertemu dengan rasionalitas para pemilih (voter). Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa ketika pemilih lebih mempertimbangkan pilihan who (siapa orangnya) daripada what (apa programnya) maka masuklah ia dalam kategori pemilih irrasional yang lebih mengedepankan sisi emosional dalam memilih, daripada sisi rasional. Contoh sederhana adalah istilah Pejah-Gesang nderek Mba Mega (Hidup-Mati ikut Mba Mega), sebuah ungkapan yang tidak peduli dengan apa yang ditawarkan Megawati, akan tetapi lebih mengedepankan sisi emosional bahwa Megawati adalah sosok yang tidak tergantikan, salah satunya mungkin adalah adalah karena darah Soekarno yang mengalir dalam dirinya.


Ketika pemilih telah mengedepankan sisi what (apa programnya) lebih daripada ketika ia melihat sosok seseorang, maka sesungguhnya ia telah memilih dengan pendekatan rasional, sehingga ia disebut sebagai pemilih yang rasional. Tentu saja ini adalah definisi yang sederhana dan masih sangat debatable. Namun dalam beberapa hal ia mampu menggambarkan konfigurasi budaya politik Indonesia. Idealnya, memang kita melihat keduanya secara berimbang, artinya selain melihat apa program yang ditawarkan, masyarakat juga seharusnya mampu melihat integritas sang calon pemimpin melalui track record-nya dalam berkiprah di masyarakat. Akan tetapi, pendekatan rasional-irrasional ini kiranya cukup untuk melakukan analisis sederhana terhadap hasil perhitungan suara dalam Pilkada Banyumas 2008.

..........

Hasil Pilkada Banyumas yang menempatkan Mardjoko di peringkat pertama, disusul oleh Bambang Priono, Singgih Wiranto, dan terakhir Aris Wahyudi membawa kita pada diskursus wacana mengenai demokrasi dan rasionalitas itu sendiri. Jika kita coba flashback di awal-awal kampanye, sesungguhnya Mardjoko yang saat ini unggul adalah calon yang tidak diperhitungkan alias underdog. Dan bahkan ketika calon lain sibuk “menjual” dirinya dengan membuat Baliho dan melakukan sosialisasi lewat media-media lainnya jauh hari sebelum kampanye, Mardjoko belum juga terlihat. Mardjoko baru mulai menunjukkan dirinya ketika beberapa saat sebelum penetapan calon oleh partai. Namun kemunculannya langsung menjadi sorotan masyarakat karena jargon dan isu yang dibawanya; “Membangun Banyumas Dengan Investasi!!”


Sesungguhnya jargon atau isu yang menjadi andalan para cabup dalam mensosialisasikan dirinya, merupakan hasil pembacaan cabup terhadap kebutuhan masyarakat Banyumas. Dan mereka tentu saja masing-masing mempunyai interpretasi terhadap pembacaan atas realitas masyarakat Banyumas. Jika diperhatikan lebih jauh, dalam asumsi saya, maka sesungguhnya dari sekian banyak cabup, lebih banyak mereka yang menjual sisi “who” mereka daripada “what”. Ketika jargon “Membangun Banyumas dengan Hati Nurani dan Ketulusan” milik BP misalnya. Hal itu tentu saja merupakan jargon untuk menggambarkan kesahajaan dan kharisma yang selama ini memang lekat dengan citra BP yang sederhana dan dikenal mempunyai integritas dan kejujuran yang tinggi. Tentu saja yang sedang “dijual” BP adalah sosok dirinya, bukan tawaran program konkrit untuk masyarakat.


Begitu juga dengan Singgih Wiranto. Dengan jargon “Berkarya Membangun Banyumas” yang seakan ingin dibangun adalah citra diri SW sebagai Incumbent dan dekat dengan partai berkuasa di Indonesia, partai Golkar. Walaupun ia juga menjual slogan “wadas, wasis, wareg”, namun hal itu bukanlah sebuah program riil, melainkan ingin sekali lagi membuktikan bahwa sebagai Sekda, tentu saja ia adalah orang yang paham betul bagaimana membuat wareg masyarakat Banyumas. Calon lain yang jelas-jelas juga “menjual” dirinya dengan pendekatan emosional adalah Aris Wahyudi dengan acara ABI (Akademi Banyumas Idola) di Banyumas TV dan acara-acara serupa yang dikonsep oleh AW Production, rumah produksi yang bertugas mengkonsep acara yang membangun citra diri seorang Aris Wahyudi.


Praktis, hanya Mardjoko Cabup yang menjual “what” dalam setiap komunikasinya dengan masyarakat. Hampir dalam setiap kesempatan, Mardjoko maupun tim suksesnya selalu menggemborkan program Investasinya. Benar, bahwa ia juga membangun citra diri lewat pamflet-pamflet yang memuat Curriculum Vitae­-nya dan juga lewat media-media tim sukses lainnya. Namun, rasanya hal itu dilakukan untuk sekedar membuktikan bahwa jargon “investasi” memang layak digadang oleh seorang yang mempunyai pengalaman yang luas di bidang usaha dan investasi di dalam dan luar negeri. Jargon Investasi kemudian dilekatkan dalam setiap kampanye Mardjoko. Bisa jadi, ada masyarakat yang lebih mengenal isu Investasi daripada siapa Mardjoko itu sendiri.

..........


Harus diakui bahwa masyarakat Banyumas telah mengalami pergeseran pola pikir yang signifikan. Faktor-faktor emosional memang masih ada, namun ia terkalahkan oleh rasionalitas, sebuah usaha logis yang bersumber pada keinginan untuk dapat memenuhi hajat hidup, bukan hanya bersandar pada figuritas semata. Artinya, masyarakat telah beranjak perlahan meninggalkan pola pikir tradisional yang bersandar pada ikatan-ikatan emosional semata, ikatan ideologi dalam bingkai partai politik, atau pola-pola kultural masyarakat tradisional lainnya. Maka dengan pendekatan rasional, seharusnya dimensi for the people dari demokrasi dapat terjawab dengan program-program konkrit yang dijalankan pemimpin terpilih dari proses kompetisi dalam demokrasi yang dijalankan secara fair.


Tulisan ini hanya menawarkan gagasan untuk membaca ulang Banyumas. Bahwa dalam kurun waktu beberapa tahun, masyarakat Banyumas sudah berubah dalam menilai fenomena yang dilihat dan keadaan yang dirasakan. Demokrasi sudah dapat diterima sebagai sebuah sistem yang tepat, namun ia tidaklah ajeg, melainkan terus melewati zamannya untuk berkembang. Dan rasionalitas adalah buah perkembangan demokrasi itu sendiri. Kita tentu saja berharap bahwa ada efek signifikan dari demokrasi yang makin “demokratis” ini. Jangan pernah lupa untuk mengingat apa yang pernah disampaikan Thomas Jefferson, dalam American Declaration of Independence (1776); “Demokrasi sesungguhnya tak lain dari aturan kerumunan. Ketika 51 persen suara bisa mengambil alih hak 49 persen lainnya.” Selamat datang di Banyumas yang semakin rasional!!


Wallahu’alam bishawwab

ANTARA MAHASISWA DAN ZAMANNYA : MENIMBANG KEMBALI “PERAN POLITIK” MAHASISWA1

Khairurrizqo2


What we want today is people sovereignty, not state sovereignty!!!!

( Bung Hatta)



Sudah lebih dari sewindu –sejak 1998- kita memasuki era transisi yang dimulai dari reformasi yang sedemikian menyejarah, yang kemudian menempatkan kaum muda -khususnya mahasiswa- menjadi ikon penting, paling tidak dalam meramaikan panggung sejarah Indonesia. Kaum muda tidak hanya berhasil menanamkan pengaruh sebagai pressure groups atas kekuatan politik formal, akan tetapi juga telah membuatnya menjadi kekuatan politik tersendiri yang punya peranan signifikan dalam menentukan nasib negeri ini. Walaupun begitu, dengan banyaknya “medali sosial” yang telah diraih oleh mahasiswa, hal ini tidak berarti bahwa kemudian mahasiswa akan berhenti bergerak. Agenda reformasi ternyata tidak (baca : belum) memberikan hasil signifikan bagi terbentuknya tatanan masyarakat yang mencerminkan keberhasilan gerakan mahasiswa dalam memperbaiki kondisi bangsa. Mahasiswa harus dapat membuktikan bahwa runtuhnya Orde Baru bukanlah kesalahan sejarah, akan tetapi adalah momentum awal untuk terwujudnya Indonesia yang lebih baik..



Transformasi Gerakan : Dari Student Movement menuju Social Movement

Salah satu poin penting yang patut dicatat dalam keberhasilan mahasiswa menggulingkan Soeharto adalah –mengutip Miftahudin- ketika mahasiswa pada waktu itu mampu membangun opini strategis dan kemudian menjadi milik masyarakat secara luas yang mendambakan terciptanya reformasi dan juga suksesi di Indonesia3. Mahasiswa mampu menggugah serta menyatukan perasaan ketertindasan juga kesengsaraan rakyat akibat krisis kala itu menjadi sebuah gerakan besar untuk menggulingkan titik sentral krisis; Orba dan sistem yang dibangunnya. Fenomenal memang, Bagaimana menjelaskan bahwa mereka yang dilarang berpolitik selama lebih dari dua dasawarsa akibat NKK/BKK mampu menumbangkan rezim besar dan mapan? Namun angkatan 1998 mampu membuka tabir itu dengan cara mereka sendiri; bergabung bersama rakyat.

Sembilan tahun berselang, saat ini gerakan mahasiswa seakan kembali layu, kalau tidak mau dikatakan hilang. Memang secara eksplisit, tidak ada lagi kebijakan NKK/BKK, tidak ada lagi pengintaian yang dilakukan oleh Menwa, dan kebijakan-kebijakan lain seperti tahun 1978. Tetapi yang kemudian terjadi adalah ternyata secara perlahan pemerintah –salah satunya melalui kebijakan komersialisasi pendidikan- menggiring mahasiswa untuk menjauhi dan bahkan menghilangkan dimensi sosial dirinya. Kampus telah dianalogikan dengan logika penjual dan pembeli; pendidikan hanya untuk mereka yang dapat membayar dengan harga yang ditetapkan pembeli. Akhirnya pola pikir pun berubah. Memikirkan rakyat? Jangan harap, kampus telah menjadi menara gading yang siap mencetak tenaga-tenaga handal untuk menjadi tenaga kerja siap pakai dengan orientasi utama adalah materi, tanpa dimensi sosial, apalagi bercita melakukan perbaikan sosial.

Ada apa dengan gerakan mahasiswa? Analisis menarik yang perlu dicermati diberikan oleh Iik Nurul Faik, salah seorang tokoh gerakan mahasiswa 1998. Menurutnya ada dua hal yang ternyata tidak mampu dijaga oleh gerakan mahasiswa pasca reformasi; Pertama, gerakan mahasiswa ternyata tidak mampu menjaga dirinya dari pengaruh kekuatan luar yang bisa mempengaruhi dan mengotori kemurnian gerakannya. Hal ini yang selalu sulit dijaga dan sering menimbulkan konflik internal di kalangan mahasiswa. Tambahnya lagi, gerakan mahasiswa saat ini sering dihinggapi “oportunis-oportunis” muda yang menjual idealisme perjuangannya, yang menjadikan gerakan mahasiswa sebagai batu loncatan. Kedua, saat ini ternyata akselserasi gerakan mahasiswa tidak berangkat dari aspirasi yang berkembang di masyarakat secara nyata, akan tetapi terjebak lagi hanyut pada pertarungan politik di tingkat elite tanpa memperhatikan “arus bawah”4. Sehingga untuk menciptakan gelombang Social Movement, dengan memposisikan diri sebagai “corong suara rakyat” menjadi jauh dari kenyataan.


Peran Politik Mahasiswa : Moral-Intelektual atau Progresif-Revolusioner??

Dalam buku Bergerak Bersama Rakyat, ditegaskan bahwa ternyata gerakan moral dan intelektual saja tidak cukup untuk mengubah tatanan masyarakat menjadi lebih baik. Gerakan moral-intelektual ternyata tidak mampu menciptakan gerakan sosial yang besar, dan hanya berpijak pada seputar wilayah mahasiswa sebagai elit, tanpa pernah masuk dalam ranah konkrit permasalahan rakyat. Sebaliknya, saat ini yang kemudian harus dilakukan adalah bermetamorfosis menjadi gerakan progresif-revolusioner dengan menggandeng rakyat untuk membentuk tatanan pemerintahan baru yang lebih baik dengan jalan merebut negara Karena pada negara dan perangkatnya lah sebenarnya asal muasal masalah yang terus berlarut menerpa negeri ini. Walaupun kemudian –menurut penulis- tidak dituliskan secara lebih jelas bagaimana upaya merebut negara tersebut dilakukan.

Hemat Penulis, memang harus dilakukan kajian yang cukup hati-hati untuk merumuskan konsepsi gerakan mahasiswa saat ini. Dari sekian banyak kelemahan gerakan mahasiswa saat ini, menurut penulis salah satunya adalah ketidakmampuan gerakan mahasiswa untuk beradaptasi dengan zaman yang semakin berubah. Dari yang terdekat saja, bahwa untuk menghadapi kampus dan mahasiswa yang semakin komersil ternyata kita terlalu gagap dan sulit beradaptasi, apalagi mengatasinya. Sistem pendidikan yang kemudian didesain sedemkian rupa sehingga membuat mahasiswa menjadi apolitis, kita hadapi dan coba selesaikan dengan cara-cara serta pendekatan yang konvensional, yang terkadang juga tidak konkrit untuk melesaikan masalah riil mereka. Di luar kampus, ada gejala gerakan mahasiswa ternyata sudah tidak populis lagi. Mengutip Indra J Pilliang- salah satu penyebabnya bisa jadi adalah mahasiswa masih gemar mengatasnamakan rakyat tanpa melakukan pengkajian yang cukup cermat mengenai siapa rakyat dan apa keinginan mereka5. Rakyat hari ini dipaksa untuk tetap tampil sebagai si bisu. Kalau dulu ia bisu karena takut, maka saat ini ia bisu karena begitu bisingnya suara yang mengatasnamakannya; pers, pegiat LSM, politisi, dan juga mahasiswa.

Kendala-kendala di ataslah yang mungkin membuat saat ini peran politik mahasiswa tidak menjadi sebegitu signifikan. Sebagai bagian dari proses belajar, dan bagian dari pelajaran itu sendiri, gerakan kita sesungguhnya tidak dalam posisi salah atau benar, apalagi kalah atau menang, terutama saat ini di tengah-tengah komunitas manusia yang sedang mengalami perubahan. Namun juga bukan berarti mahasiswa bisa steril dari politik. Mahasiswa dan gerakannya tidak tumbuh dalam ruang yang hampa dan vakum, akan tetapi ia tumbuh di tengah “kebisingan” politik, dan tentunya mengusung agenda-agenda perbaikan yang salah satunya adalah perbaikan politik. Untuk itulah peran-peran politik mahasiswa masih dan sangat dibutuhkan, terutama dalam menyikapi berbagai isu-isu strategis yang berkaitan dengan kebutuhan rakyat. Pertanyaannya sekarang, sejauh mana peranan politik mahasiswa?

Pada akhirnya, bahwa sebagai salah satu kekuatan politik utama, maka mahasiswa harus mencitrakan diri sebagai kekuatan politik yang progresif, akan tetapi patut dicatat, seprogresif apapun, landasan moral dan etik tetap harus ditegakkan, juga tidak alpa memposisikan diri sebagai gerakan politik independen yang intelek. Juga tidak serta merta mendobrak semua aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat yang dapat menjadikan gerakan mahasiswa menjadi gerakan yang destruktif. Tetap menjadi gerakan yang ideologis, namun juga menghargai perbedaan ideologi. Akhirnya, perlu dicatat bahwa secara universal politik praktis dengan politik moral tidak dibedakan, karena tak ada politik yang sepenuhnya tanpa moral dan nyatanya semua politik adalah praktis karena berkaitan dengan interaksi kekuasaan..


Wallahu’alam


1 Sebagai catatan kritis atas buku Bergerak Bersama Rakyat : Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia. Disampaikan dalam Bedah Buku yang sama, di Laboratorium Ilmu Politik FISIP Unsoed, 15 Maret 2007.

2 Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsoed SKS 2004. Saat ini menjabat sebagai Presiden BEM FISIP Unsoed periode 2006/2007.

3 Miftahudin, RADIKALISASI PEMUDA : PRD Melawan Tirani, Desantara, Jakarta, 2004.

4 Tulisan Iik Nurul Faik, Gerakan Mahasiswa : Sebuah Otokritik, dalam buku Mahasiswa Menggugat : Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Fahrus Zaman Fadhly (Ed), Pustaka Hidayah, Bandung, 1999.

5 Tulisan Indra J Pilliang, Mahasiswa, Laba-Laba dan Kata-Kata dalam Jurnal Politik AKSES Mahasiswa Meretas Zaman Baru Vol 1, 4 Mei 2001.