Tuesday, September 9, 2008

ANTARA MAHASISWA DAN ZAMANNYA : MENIMBANG KEMBALI “PERAN POLITIK” MAHASISWA1

Khairurrizqo2


What we want today is people sovereignty, not state sovereignty!!!!

( Bung Hatta)



Sudah lebih dari sewindu –sejak 1998- kita memasuki era transisi yang dimulai dari reformasi yang sedemikian menyejarah, yang kemudian menempatkan kaum muda -khususnya mahasiswa- menjadi ikon penting, paling tidak dalam meramaikan panggung sejarah Indonesia. Kaum muda tidak hanya berhasil menanamkan pengaruh sebagai pressure groups atas kekuatan politik formal, akan tetapi juga telah membuatnya menjadi kekuatan politik tersendiri yang punya peranan signifikan dalam menentukan nasib negeri ini. Walaupun begitu, dengan banyaknya “medali sosial” yang telah diraih oleh mahasiswa, hal ini tidak berarti bahwa kemudian mahasiswa akan berhenti bergerak. Agenda reformasi ternyata tidak (baca : belum) memberikan hasil signifikan bagi terbentuknya tatanan masyarakat yang mencerminkan keberhasilan gerakan mahasiswa dalam memperbaiki kondisi bangsa. Mahasiswa harus dapat membuktikan bahwa runtuhnya Orde Baru bukanlah kesalahan sejarah, akan tetapi adalah momentum awal untuk terwujudnya Indonesia yang lebih baik..



Transformasi Gerakan : Dari Student Movement menuju Social Movement

Salah satu poin penting yang patut dicatat dalam keberhasilan mahasiswa menggulingkan Soeharto adalah –mengutip Miftahudin- ketika mahasiswa pada waktu itu mampu membangun opini strategis dan kemudian menjadi milik masyarakat secara luas yang mendambakan terciptanya reformasi dan juga suksesi di Indonesia3. Mahasiswa mampu menggugah serta menyatukan perasaan ketertindasan juga kesengsaraan rakyat akibat krisis kala itu menjadi sebuah gerakan besar untuk menggulingkan titik sentral krisis; Orba dan sistem yang dibangunnya. Fenomenal memang, Bagaimana menjelaskan bahwa mereka yang dilarang berpolitik selama lebih dari dua dasawarsa akibat NKK/BKK mampu menumbangkan rezim besar dan mapan? Namun angkatan 1998 mampu membuka tabir itu dengan cara mereka sendiri; bergabung bersama rakyat.

Sembilan tahun berselang, saat ini gerakan mahasiswa seakan kembali layu, kalau tidak mau dikatakan hilang. Memang secara eksplisit, tidak ada lagi kebijakan NKK/BKK, tidak ada lagi pengintaian yang dilakukan oleh Menwa, dan kebijakan-kebijakan lain seperti tahun 1978. Tetapi yang kemudian terjadi adalah ternyata secara perlahan pemerintah –salah satunya melalui kebijakan komersialisasi pendidikan- menggiring mahasiswa untuk menjauhi dan bahkan menghilangkan dimensi sosial dirinya. Kampus telah dianalogikan dengan logika penjual dan pembeli; pendidikan hanya untuk mereka yang dapat membayar dengan harga yang ditetapkan pembeli. Akhirnya pola pikir pun berubah. Memikirkan rakyat? Jangan harap, kampus telah menjadi menara gading yang siap mencetak tenaga-tenaga handal untuk menjadi tenaga kerja siap pakai dengan orientasi utama adalah materi, tanpa dimensi sosial, apalagi bercita melakukan perbaikan sosial.

Ada apa dengan gerakan mahasiswa? Analisis menarik yang perlu dicermati diberikan oleh Iik Nurul Faik, salah seorang tokoh gerakan mahasiswa 1998. Menurutnya ada dua hal yang ternyata tidak mampu dijaga oleh gerakan mahasiswa pasca reformasi; Pertama, gerakan mahasiswa ternyata tidak mampu menjaga dirinya dari pengaruh kekuatan luar yang bisa mempengaruhi dan mengotori kemurnian gerakannya. Hal ini yang selalu sulit dijaga dan sering menimbulkan konflik internal di kalangan mahasiswa. Tambahnya lagi, gerakan mahasiswa saat ini sering dihinggapi “oportunis-oportunis” muda yang menjual idealisme perjuangannya, yang menjadikan gerakan mahasiswa sebagai batu loncatan. Kedua, saat ini ternyata akselserasi gerakan mahasiswa tidak berangkat dari aspirasi yang berkembang di masyarakat secara nyata, akan tetapi terjebak lagi hanyut pada pertarungan politik di tingkat elite tanpa memperhatikan “arus bawah”4. Sehingga untuk menciptakan gelombang Social Movement, dengan memposisikan diri sebagai “corong suara rakyat” menjadi jauh dari kenyataan.


Peran Politik Mahasiswa : Moral-Intelektual atau Progresif-Revolusioner??

Dalam buku Bergerak Bersama Rakyat, ditegaskan bahwa ternyata gerakan moral dan intelektual saja tidak cukup untuk mengubah tatanan masyarakat menjadi lebih baik. Gerakan moral-intelektual ternyata tidak mampu menciptakan gerakan sosial yang besar, dan hanya berpijak pada seputar wilayah mahasiswa sebagai elit, tanpa pernah masuk dalam ranah konkrit permasalahan rakyat. Sebaliknya, saat ini yang kemudian harus dilakukan adalah bermetamorfosis menjadi gerakan progresif-revolusioner dengan menggandeng rakyat untuk membentuk tatanan pemerintahan baru yang lebih baik dengan jalan merebut negara Karena pada negara dan perangkatnya lah sebenarnya asal muasal masalah yang terus berlarut menerpa negeri ini. Walaupun kemudian –menurut penulis- tidak dituliskan secara lebih jelas bagaimana upaya merebut negara tersebut dilakukan.

Hemat Penulis, memang harus dilakukan kajian yang cukup hati-hati untuk merumuskan konsepsi gerakan mahasiswa saat ini. Dari sekian banyak kelemahan gerakan mahasiswa saat ini, menurut penulis salah satunya adalah ketidakmampuan gerakan mahasiswa untuk beradaptasi dengan zaman yang semakin berubah. Dari yang terdekat saja, bahwa untuk menghadapi kampus dan mahasiswa yang semakin komersil ternyata kita terlalu gagap dan sulit beradaptasi, apalagi mengatasinya. Sistem pendidikan yang kemudian didesain sedemkian rupa sehingga membuat mahasiswa menjadi apolitis, kita hadapi dan coba selesaikan dengan cara-cara serta pendekatan yang konvensional, yang terkadang juga tidak konkrit untuk melesaikan masalah riil mereka. Di luar kampus, ada gejala gerakan mahasiswa ternyata sudah tidak populis lagi. Mengutip Indra J Pilliang- salah satu penyebabnya bisa jadi adalah mahasiswa masih gemar mengatasnamakan rakyat tanpa melakukan pengkajian yang cukup cermat mengenai siapa rakyat dan apa keinginan mereka5. Rakyat hari ini dipaksa untuk tetap tampil sebagai si bisu. Kalau dulu ia bisu karena takut, maka saat ini ia bisu karena begitu bisingnya suara yang mengatasnamakannya; pers, pegiat LSM, politisi, dan juga mahasiswa.

Kendala-kendala di ataslah yang mungkin membuat saat ini peran politik mahasiswa tidak menjadi sebegitu signifikan. Sebagai bagian dari proses belajar, dan bagian dari pelajaran itu sendiri, gerakan kita sesungguhnya tidak dalam posisi salah atau benar, apalagi kalah atau menang, terutama saat ini di tengah-tengah komunitas manusia yang sedang mengalami perubahan. Namun juga bukan berarti mahasiswa bisa steril dari politik. Mahasiswa dan gerakannya tidak tumbuh dalam ruang yang hampa dan vakum, akan tetapi ia tumbuh di tengah “kebisingan” politik, dan tentunya mengusung agenda-agenda perbaikan yang salah satunya adalah perbaikan politik. Untuk itulah peran-peran politik mahasiswa masih dan sangat dibutuhkan, terutama dalam menyikapi berbagai isu-isu strategis yang berkaitan dengan kebutuhan rakyat. Pertanyaannya sekarang, sejauh mana peranan politik mahasiswa?

Pada akhirnya, bahwa sebagai salah satu kekuatan politik utama, maka mahasiswa harus mencitrakan diri sebagai kekuatan politik yang progresif, akan tetapi patut dicatat, seprogresif apapun, landasan moral dan etik tetap harus ditegakkan, juga tidak alpa memposisikan diri sebagai gerakan politik independen yang intelek. Juga tidak serta merta mendobrak semua aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat yang dapat menjadikan gerakan mahasiswa menjadi gerakan yang destruktif. Tetap menjadi gerakan yang ideologis, namun juga menghargai perbedaan ideologi. Akhirnya, perlu dicatat bahwa secara universal politik praktis dengan politik moral tidak dibedakan, karena tak ada politik yang sepenuhnya tanpa moral dan nyatanya semua politik adalah praktis karena berkaitan dengan interaksi kekuasaan..


Wallahu’alam


1 Sebagai catatan kritis atas buku Bergerak Bersama Rakyat : Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia. Disampaikan dalam Bedah Buku yang sama, di Laboratorium Ilmu Politik FISIP Unsoed, 15 Maret 2007.

2 Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsoed SKS 2004. Saat ini menjabat sebagai Presiden BEM FISIP Unsoed periode 2006/2007.

3 Miftahudin, RADIKALISASI PEMUDA : PRD Melawan Tirani, Desantara, Jakarta, 2004.

4 Tulisan Iik Nurul Faik, Gerakan Mahasiswa : Sebuah Otokritik, dalam buku Mahasiswa Menggugat : Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Fahrus Zaman Fadhly (Ed), Pustaka Hidayah, Bandung, 1999.

5 Tulisan Indra J Pilliang, Mahasiswa, Laba-Laba dan Kata-Kata dalam Jurnal Politik AKSES Mahasiswa Meretas Zaman Baru Vol 1, 4 Mei 2001.

No comments: