Tuesday, September 9, 2008

MAHASISWA DAN PERANAN POLITIKNYA : BELAJAR DARI COSMAS BATUBARA

Khairurrizqo


.....Melaksanakan kedaulatan rakyat dalam praktik,

menghendaki keinsafan, pengertian, dan tanggung jawab

rakyat tentang itu. Itu memerlukan didikan dan asuhan.

Ya, sebuah abad besar telah lahir. Namun, ia menemukan

generasi yang kerdil...”

(Bung Hatta, dalam tulisannya “Mimpi dan Kenyataan”)


I

Kontribusi mahasiswa di pentas perjuangan bangsa pada setiap lintasan sejarah hampir selalu menorehkan tinta emas. Peran mahasiswa –melepaskan republik ini dari cengkraman penjajah asing 1945, menumbangkan rezim Soekarno 1966, serta menjatuhnya kepercayaan masyarakat terhadap rezim Soeharto- telah menjadi saksi dan fakta sejarah bahwa mahasiswa negeri ini senantiasa konsisten dalam melakukan perubahan. Rekaman sejarah gerakan mahasiswa dengan warna heroiknya menjadi cermin ketulusan mereka yang senantiasa berpijak pada kerangka moral, bukan kerangka-kerangka lain yang bernuansakan kepentingan sesaat. Pada setiap kemasan sejarah reformasi bangsa, sekali lagi keterlibatan dan peran mahasiswa sebagai aktor yang paling mobile dan dominan sampai hari ini pun masih menjadi sesuatu yang tak terbantahkan. Lahirnya angkatan 66, 74, 78, hingga 98 merekam dengan tegas kiprah kaum muda dalam mengusung agenda-agenda perubahan yang nyata di tengah masyarakat.


Di dalam perjuangan aksi mahasiswa, akan selalu ada pengertian perjuangan moral ataukah perjuangan politik praktis. Dalam kasus aksi mahasiswa 1966 misalnya, pada awalnya mahasiswa berdemo karena pertimbangan moral. Perndekatan pertimbangan moral sangatlah tegas : logika hitam-putih, logika baik dan buruk. Tidak ada wilayah abu-abu. Keadaan ekonomi yang morat-marit, memaksa mahasiswa menyuarakan tuntutannya ke jalan. Selain itu public enemy –dalam hal ini PKI- ternyata belum juga dibubarkan pasca gagalnya kudeta. Hanya saja memang perjuangan moral tampaknya –dan memang terbukti- sulit untuk segera memperoleh hasil. Oleh karena itu biasanya perjuangan moral lalu berkembang menajam ke perjuangan politik praktis yang tidak hanya berlingkup mahasiswa. Perjuangan politik praktis sangat berbeda dengan perjuangan moral semata. Perjuangan politik kadang mempuyai pertimbangan yang sekilas tidak masuk akal, misalnya melakukan kompromi. Dalam pilihan ini, kadang sikap kompromistis dicap sebagai sebuah pengkhianatan perjuangan. Di sisi inilah sebenarnya seorang mahasiswa menentukan pilihan arah perjuangan, pilhan masa depan yang akan diraih.


Dalam kaitan ini, sesungguhnya menarik mengutip pendapat dari Arbi Sanit. Menurutnya; “Secara universal politik moral dengan politik praktis tidak dapat dibedakan. Karena tak ada politik yang sepenuhnya tanpa moral dan nyataya semua politik adalah praktis karena berkaitan dengan interaksi kekuasaan. Sebagai praktik kekuasaan, interaksi politik terdiri dari sikap politik dan perbuatan atau tingkah laku politik”3. Pada perspektif ini, Arbi Sanit melihat kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan tingkah laku pihak lain, merupakan alat dalam interaksi politik, laiknya uang dalam interaksi ekonomi. Besarnya kekuasaan pelaku politik ditentukan oleh keberhasilannya menghimpun dan memanfaatkan sumber daya kekuasaan yang terdiri dari kekayaan, pengetahuan, kekuatan fisik, dan kekuatan nilai (kebenaran).


II

Membaca buku Cosmas Batubara : Sebuah Otobiografi Politik, sungguh membawa alam pikiran kita pada seorang aktivis mahasiswa yang politikus, politikus yang aktivis. Kita seperti digambarkan juga diajarkan bahwa perjuangan menuju nilai-nilai keadilan tentunya tidak bisa tidak, harus beririsan dengan usaha-usaha politik. Era 1966, gerakan mahasiswa berhadapan dengan Demokrasi Terpimpin (guided democracy) yang diterapkan oleh Presiden Soekarno yang kemudian “berjasa” dalam meluluhlantakkan tatanan demokrasi dan martabat manusia Indonesia. Perang ideologi pun tidak terhindarkan walapun –sebelum Gestapu- masih bersifat smooth war. Perpaduan Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) yang dicita-citakan Soekarno, ternyata lebih mendekatkan ketiga konsepsi itu dalam potensi konflik daripada potensi persatuan. Di tengah-tengah perang idelolgi yang memuncak –seperti biasa- rakyatlah yang paling dirugikan. Kondisi ekonomi memburuk, jatuh di titik terendah. Digambarkan oleh Benny Susetyo sebagai, “sebuah masa dimana kelaparan dan kemiskinan adalah tontonan utama, di tengah kuatnya PKI menghadapi ABRI, di tengah semakin garangnya teriakan anti Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme), sesungguhnya rakyat hanya menjadi penonton yang lapar dan haus”4.

Dalam keadaan seperti itulah angkatan 66 mengambil inisiatif, menyebabkan kepedulian, menjadi garda terdepan (avant garde) dalam menyuarakan penderitaan rakyat. Dan lahirlah perubahan itu. Soekarno tumbang disertai dengan dibubarkannya PKI, dan yang lebih penting, angkatan 66 melahirkan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Maka lahirlah politisi-politisi baru Indonesia, politisi-politisi yang di awal 1966 adalah para pemimpin aksi-aksi massa kala itu. Tersebutlah nama Fahmi Idris, Mar’ie Muhammad, Bapak Cosmas Batubara sendiri, hingga Eky Syachrudin. Walaupun kemunculan mereka tidak lepas dari kritik rekan-rekan mereka sendiri, seperti Soe Hok Gie misalnya. Namun Otobiografi ini seakan ingin menegaskan satu hal bahwa perjuangan moral tidaklah cukup. Mahasiswa, tidak hanya kemudian menjadi agen-agen perubahan saja. Dengan masih atau sudah menjadi “mantan”, ketika perubahan yang dicita-citakan lahir yang otomatis membuka ruang-ruang publik, ruang-ruang pengambilan kebijakan, maka sesungguhnya mereka para penggerak perubahan di zamannya bertanggung jawab untuk mengisi pos-pos tersebut, menjadikan jabatan strategis tersebut sebagai sarana untuk mengambil kebijakan yang pro poor, seperti yang mereka teriakkan dalam aksi-aksi jalanan sebelumnya.

Namun peran dan posisi mahasiswa (dan mantan mahasiswa) yang demikian ternyata tidak lepas dari pro dan kontra. Dari mereka yang kontra, yang menarik adalah analogi yang disampaikan Arief Budiman. Menurutnya peran mahasiswa diandaikan seperti peran-peran pahlawan di film-film koboi Hollywood tempo dulu. Khususnya, ia membayangkan film “Shane”. Film Hollywood di era 1950-an. Dalam film itu si pahlawan yang bernama Shane datang sebagai orang yang tidak dikenal ke sebuah kota kecil yang sedang dirongrong oleh kawanan penjahat. Pahlawan pendiam tetapi kokoh pendirian ini kemudian membersihkan kota tersebut dari para penjahat. Namun, ia segera pergi tanpa sempat dibalas sedikit pun jasanya oleh warga yang ia tolong. Ketika para warga menawarkan jabatan sherif untuknya, ia pun menolak. Menurut Arief Budiman, film diakhiri dengan adegan Shane naik kuda meninggalkan kota. Sementara seorang bocah memanggil-manggil namanya untuk kembali5. Gambaran yang sedemikian romantis, namun mengena. Terkait pamrih namun juga bagaimana perubahan harus diiisi oleh orang-orang terpilih.


III

Lalu dari mana mahasiswa saat ini harus mengambil juga meneladani warisan sejarah para seniornya? Angkatan 66 memang meluluhlantakkann Orde Lama, namun ia mencipta dan mendukung sebuah rezim baru yang tidak lebih baik dari Orde sebelumnya. Orde Baru terbukti juga membawa bangsa ini dalam kemelaratan, sehingga masyarakat dan mahasiswa pun menggulingkannya, menggantinya dengan Orde Reformasi. Lahirlah kemudian yang dikenal dengan mahasiswa angkatan 98. Dari mereka tersebutlah nama-nama seperti Budiman Sudjatmiko, Andi Arief, Rama Pratama, Anas Urbaningrum, dan masih banyak lagi. Banyak dari mereka yang saat ini mengisi posisi-posisi penting, baik di legislatif, eksekutif, atau bahkan partai politik. Dengan karakter khas yang mereka miliki, sesungguhnya tidak jauh berbeda apa yang mereka lakukan dengan bapak-bapak kita di angkatan 66. Pertanyaannya kemudian, lebih baikkah kondisi kita sekarang?

Membaca sekali lagi Otobiografi Cosmas Batubara, membawa kita pada sebuah kenyataan siklus sejarah Indonesia. Bahwa tanggung jawab mahasiswa Indonesia tidak sekedar dan selesai dalam memperjuangkan dan mencipta perubahan, lebih dari itu mahasiswa mempunyai tanggung jawab moral untuk ikut serta membangun sebuah orde, sebuah zaman yang lebih baik. Seperti halnya Bapak Cosmas Batubara yang ikut berkontribusi dalam pemerintahan Orde Baru dengan kebijakan Perumnasnya yang terkenal dan tokoh-tokoh eksponen 66 lainnya yang juga bagian dari Orba itu sendiri. Kita diajarkan untuk menerima kenyataan bahwa untuk itulah mahasiswa ada, untuk disiapkan menjadi stok-stok baru yang akan mengisi setiap zaman juga tantangan yang akan dilalui bangsa ini. Tidak hanya sebagai Agent of Change, namun juga menjadi Director of Change. Sekali lagi, menarik apa yang dikatakan oleh Arbi Sanit bahwa “Secara universal politik moral dengan politik praktis tidak dapat dibedakan. Karena tak ada politik yang sepenuhnya tanpa moral dan nyataya semua politik adalah praktis karena berkaitan dengan interaksi kekuasaan”. Selamat memilih dan terus bergerak tuntaskan perubahan!!!!


.....Kini mereka telah mengkhianati perjuangannya sendiri, kita generasi muda ditugaskan untuk membersihkan semua sisa sejarah yang salah..” (Soe Hok Gie)




1 Disampaikan dalam acara Bedah Buku “Cosmas Batubara : Sebuah Otobiografi Politik” kerjasama Forum Mahasiswa Ilmu Politik (FMIP) dan Lab Ilmu Politik Unsoed. Rabu, 29 Agustus 2007 . Dengan Pembicara Cosmas Batubara (penulis buku), Ahmad Sabiq S.IP M.A dan penulis sendiri sebagai pembanding

2 Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsoed . Saat ini menjabat sebagai Presiden BEM FISIP Unsoed periode 2006/2007. Koordinator acara Academic Forum, sebuah forum diskusi BEM se-Purwokerto di Radio Republik Indonesia (RRI) Pro 2 FM.

3 Tulisan Arbi Sanit, Gerakan Mahasiswa 1998 : Moral atau Praktis? dalam buku Mahasiswa Menggugat : Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Fahrus Zaman Fadhly (Ed), Pustaka Hidayah, Bandung, 1999.

4 Beny Susetyo, Hancurnya Etika Politik. Penerbit Kompas, Jakarta, 2004.

4

5 Dikutip dari tulisan Vedi R. Hadiz, Gerakan Mahasiswa dan Film Koboi Hollywood. dalam buku Mahasiswa Menggugat : Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Fahrus Zaman Fadhly (Ed), Pustaka Hidayah, Bandung, 1999.

No comments: