Tuesday, September 9, 2008

PILKADA BANYUMAS, DEMOKRASI DAN RASIONALITAS MASYARAKAT (SEBUAH CATATAN RINGAN)

Khairurrizqo


A political issue is not a merely a product to

be merchandised but rather a vibrant value

symbol connecting with an individual sense

of who and what he or she in the deepest level”

(Nicholas O’Shaughnessy, 1999)


Ada demokrasi di tanggal 10 Februari 2008. Ada harapan besar di masyarakat Banyumas untuk dapat memperbaiki nasib juga hajat hidupnya. Inilah untuk pertama kalinya masyarakat Banyumas memilih secara langsung Calon Bupati. Hasilnya, Tidak tanggung-tanggung, lebih dari 75 % masyarakat yang mempunyai hak pilih,menggunakan hak pilih mereka. Sebuah angka yang –secara kuantitatif- menunjukkan besarnya ekspektasi masyarakat terhadap pemimpin mereka, juga terhadap perubahan yang didambakan. Walaupun angka ini kemudian tidak dapat digunakan untuk mengukur kualitas pilihan masyarakat terhadap calon mereka, Namun secara umum, partisipasi masyarakat dalam Pilkada ini semakin menunjukkan bahwa ada pergeseran yang cukup signifikan dalam struktur sosial-politik masyarakat Banyumas.


Dan hasilnya? Sejauh ini, dari hasil Quick Count yang dipublikasikan oleh KPUD Banyumas (Radar Banyumas, 13 Februari 2008), Pasangan Mardjoko-Husein (MJK) memperoleh 36, 28 % suara, Pasangan Singgih Wiranto-Laily Mansur (SW) memperoleh 23,81% suara, pasangan Bambang Priono-Tossy Aryanto memperoleh (BP) 29,00% suara, dan terakhir pasangan Aris Wahyudi-Asroru Maula memperoleh 10,29% suara. Adalah sangat bijak untuk menunggu rekapitulasi total yang dikeluarkan oleh KPUD Banyumas berdasarkan hasil suara yang masuk di semua TPS. Namun berdasarkan kenyataan yang ada selama ini, hasil Quick Count memang selalu identik dengan hasil akhir yang dikeluarkan. Artinya Pasangan Calon (Paslon) Mardjoko-Husein yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ternyata dipilih oleh mayoritas masyarakat Banyumas dalam Pilkada kali ini.


Tulisan ini bukanlah untuk menganalisis dan mengomentari lebih valid atau tidaknya hasil perhitungan yang sudah ada. Tulisan ini hanya akan memberikan catatan sederhana mengenai Pilkada Banyumas yang ternyata mampu menggambarkan fenomena politik yang tidak biasa. Dalam hal ini penulis menggunakan dua frame yang digunakan dalam analisis sederhana ini, pertama adalah bahwa apakah pesta demokrasi di Banyumas ini benar-benar mampu menggambarkan esensi demokrasi secara substansial, ataukah lagi-lagi hanya membuktikan kemenangan kelompok dominan dan berkuasa. Kedua, sejauh mana Pilkada Banyumas mampu membuktikan pergeseran pola pikir masyarakat, apakah masyarakat Banyumas masih terjebak pada pola-pola pikir tradisional yang terjebak pada pilihan emosional semata, ataukah sudah bergereser menuju pilihan yang lebih rasional dengan mampu memilih berdasarkan Basic Needs mereka. Hal ini akan berkaitan dengan pilihan isu yang diangkat oleh masing-masing Calon Bupati dalam komunikasi politik mereka kepada masyarakat.

..........

Pengertian Demokrasi bukanlah pengertian yang sederhana, akan tetapi ia mempunyai pengertian yang kompleks dan tidak manunggal. Sejauh ini –sepengetahuan penulis- tidak ada definisi demokrasi yang menjadi pengertian yang diterima sebagai konsensus bersama. Secara sederhana, seperti yang sering dikutip, demokrasi dimaknai dalam kata-kata “from the people, by the people and for the people. Mungkin demokrasi seperti yang termanifestasikan dalam Pilkada Langsung di Indonesia mampu untuk memanifestasikan pengertian di atas, khususnya dalam definisi from the people and by the people. Hanya saja kemudian apakah Pilkada langsung hari ini mampu mememuhi kebutuhan publik atau dengan kata lain, sudahkah ia memanifestasikan unsur for the people?


Selalu ada esensi demokrasi yang dinanti oleh masyarakat. Kiranya pertanyaan mendasarnya adalah, apakah dengan berdemokrasi maka segala sesuatunya akan lebih baik? mampukah demokrasi menjawab persoalan mendasar masyarakat terutama kebutuhan ekonomi mereka? Mampukah ia menghilangkan atau sekedar meminimalisir gap antara si miskin dan si kaya? Ataukah ia hanya sekedar pertunjukan yang menampilkan kompetisi para elit politik yang secara emosional mampu mengikat masyarakat dengan ekspektasi yang muluk. Belum ada jawaban yang mampu menjawab sekian banyak keraguan akan demokrasi itu sendiri. Yang muncul justru perdebatan selanjutnya, apakah ekspektasi masyarakat dapat cukup terpenuhi dengan hanya menyaksikan kompetisi demokrasi yang fair atau memang masyarakat menuntut lebih? Bahwa kesejahteraan dan kemakmuran yang ditandai dengan terpenuhinya basic needs lebih penting daripada sekedar Pilkada yang jujur dan fair?


Disinilah demokrasi bertemu dengan rasionalitas para pemilih (voter). Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa ketika pemilih lebih mempertimbangkan pilihan who (siapa orangnya) daripada what (apa programnya) maka masuklah ia dalam kategori pemilih irrasional yang lebih mengedepankan sisi emosional dalam memilih, daripada sisi rasional. Contoh sederhana adalah istilah Pejah-Gesang nderek Mba Mega (Hidup-Mati ikut Mba Mega), sebuah ungkapan yang tidak peduli dengan apa yang ditawarkan Megawati, akan tetapi lebih mengedepankan sisi emosional bahwa Megawati adalah sosok yang tidak tergantikan, salah satunya mungkin adalah adalah karena darah Soekarno yang mengalir dalam dirinya.


Ketika pemilih telah mengedepankan sisi what (apa programnya) lebih daripada ketika ia melihat sosok seseorang, maka sesungguhnya ia telah memilih dengan pendekatan rasional, sehingga ia disebut sebagai pemilih yang rasional. Tentu saja ini adalah definisi yang sederhana dan masih sangat debatable. Namun dalam beberapa hal ia mampu menggambarkan konfigurasi budaya politik Indonesia. Idealnya, memang kita melihat keduanya secara berimbang, artinya selain melihat apa program yang ditawarkan, masyarakat juga seharusnya mampu melihat integritas sang calon pemimpin melalui track record-nya dalam berkiprah di masyarakat. Akan tetapi, pendekatan rasional-irrasional ini kiranya cukup untuk melakukan analisis sederhana terhadap hasil perhitungan suara dalam Pilkada Banyumas 2008.

..........

Hasil Pilkada Banyumas yang menempatkan Mardjoko di peringkat pertama, disusul oleh Bambang Priono, Singgih Wiranto, dan terakhir Aris Wahyudi membawa kita pada diskursus wacana mengenai demokrasi dan rasionalitas itu sendiri. Jika kita coba flashback di awal-awal kampanye, sesungguhnya Mardjoko yang saat ini unggul adalah calon yang tidak diperhitungkan alias underdog. Dan bahkan ketika calon lain sibuk “menjual” dirinya dengan membuat Baliho dan melakukan sosialisasi lewat media-media lainnya jauh hari sebelum kampanye, Mardjoko belum juga terlihat. Mardjoko baru mulai menunjukkan dirinya ketika beberapa saat sebelum penetapan calon oleh partai. Namun kemunculannya langsung menjadi sorotan masyarakat karena jargon dan isu yang dibawanya; “Membangun Banyumas Dengan Investasi!!”


Sesungguhnya jargon atau isu yang menjadi andalan para cabup dalam mensosialisasikan dirinya, merupakan hasil pembacaan cabup terhadap kebutuhan masyarakat Banyumas. Dan mereka tentu saja masing-masing mempunyai interpretasi terhadap pembacaan atas realitas masyarakat Banyumas. Jika diperhatikan lebih jauh, dalam asumsi saya, maka sesungguhnya dari sekian banyak cabup, lebih banyak mereka yang menjual sisi “who” mereka daripada “what”. Ketika jargon “Membangun Banyumas dengan Hati Nurani dan Ketulusan” milik BP misalnya. Hal itu tentu saja merupakan jargon untuk menggambarkan kesahajaan dan kharisma yang selama ini memang lekat dengan citra BP yang sederhana dan dikenal mempunyai integritas dan kejujuran yang tinggi. Tentu saja yang sedang “dijual” BP adalah sosok dirinya, bukan tawaran program konkrit untuk masyarakat.


Begitu juga dengan Singgih Wiranto. Dengan jargon “Berkarya Membangun Banyumas” yang seakan ingin dibangun adalah citra diri SW sebagai Incumbent dan dekat dengan partai berkuasa di Indonesia, partai Golkar. Walaupun ia juga menjual slogan “wadas, wasis, wareg”, namun hal itu bukanlah sebuah program riil, melainkan ingin sekali lagi membuktikan bahwa sebagai Sekda, tentu saja ia adalah orang yang paham betul bagaimana membuat wareg masyarakat Banyumas. Calon lain yang jelas-jelas juga “menjual” dirinya dengan pendekatan emosional adalah Aris Wahyudi dengan acara ABI (Akademi Banyumas Idola) di Banyumas TV dan acara-acara serupa yang dikonsep oleh AW Production, rumah produksi yang bertugas mengkonsep acara yang membangun citra diri seorang Aris Wahyudi.


Praktis, hanya Mardjoko Cabup yang menjual “what” dalam setiap komunikasinya dengan masyarakat. Hampir dalam setiap kesempatan, Mardjoko maupun tim suksesnya selalu menggemborkan program Investasinya. Benar, bahwa ia juga membangun citra diri lewat pamflet-pamflet yang memuat Curriculum Vitae­-nya dan juga lewat media-media tim sukses lainnya. Namun, rasanya hal itu dilakukan untuk sekedar membuktikan bahwa jargon “investasi” memang layak digadang oleh seorang yang mempunyai pengalaman yang luas di bidang usaha dan investasi di dalam dan luar negeri. Jargon Investasi kemudian dilekatkan dalam setiap kampanye Mardjoko. Bisa jadi, ada masyarakat yang lebih mengenal isu Investasi daripada siapa Mardjoko itu sendiri.

..........


Harus diakui bahwa masyarakat Banyumas telah mengalami pergeseran pola pikir yang signifikan. Faktor-faktor emosional memang masih ada, namun ia terkalahkan oleh rasionalitas, sebuah usaha logis yang bersumber pada keinginan untuk dapat memenuhi hajat hidup, bukan hanya bersandar pada figuritas semata. Artinya, masyarakat telah beranjak perlahan meninggalkan pola pikir tradisional yang bersandar pada ikatan-ikatan emosional semata, ikatan ideologi dalam bingkai partai politik, atau pola-pola kultural masyarakat tradisional lainnya. Maka dengan pendekatan rasional, seharusnya dimensi for the people dari demokrasi dapat terjawab dengan program-program konkrit yang dijalankan pemimpin terpilih dari proses kompetisi dalam demokrasi yang dijalankan secara fair.


Tulisan ini hanya menawarkan gagasan untuk membaca ulang Banyumas. Bahwa dalam kurun waktu beberapa tahun, masyarakat Banyumas sudah berubah dalam menilai fenomena yang dilihat dan keadaan yang dirasakan. Demokrasi sudah dapat diterima sebagai sebuah sistem yang tepat, namun ia tidaklah ajeg, melainkan terus melewati zamannya untuk berkembang. Dan rasionalitas adalah buah perkembangan demokrasi itu sendiri. Kita tentu saja berharap bahwa ada efek signifikan dari demokrasi yang makin “demokratis” ini. Jangan pernah lupa untuk mengingat apa yang pernah disampaikan Thomas Jefferson, dalam American Declaration of Independence (1776); “Demokrasi sesungguhnya tak lain dari aturan kerumunan. Ketika 51 persen suara bisa mengambil alih hak 49 persen lainnya.” Selamat datang di Banyumas yang semakin rasional!!


Wallahu’alam bishawwab

No comments: